Kasus Pengancaman di Gunungsitoli: Restorative Justice sebagai Solusi dan Transformasi Keadilan

Table of Contents

Kasus Pengancaman di Gunungsitoli: Restorative Justice sebagai Solusi dan Transformasi Keadilan


TERAS NIAS (TN) Gunungsitoli, 15 Mei 2024. Keadilan adalah prinsip yang menjadi pijakan utama dalam sistem hukum sebuah negara. Namun, dalam menegakkan keadilan, terkadang dibutuhkan pendekatan yang lebih luas dan menyeluruh, terutama dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan konflik interpersonal. Kejaksaan Negeri (Kejari) Gunungsitoli, melalui praksis Restorative Justice, kembali menunjukkan komitmennya dalam menjalankan fungsi penegakan hukum yang berorientasi pada pemulihan dan perdamaian.

Kasus Pengancaman di Gunungsitoli: Restorative Justice sebagai Solusi dan Transformasi Keadilan

Perkara pengancaman yang melibatkan seorang tersangka bernama Melisokhi Hura alias Ama Riska, yang dijerat dengan pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, menjadi sorotan terbaru dalam penegakan hukum di Gunungsitoli. Namun, bukan penuntutan hukum yang menjadi fokus utama dalam kasus ini, melainkan upaya memfasilitasi perdamaian antara tersangka dengan korban, yang dilakukan oleh Jaksa Fasilitator Richisandi Sibagariang. Dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (14/5/2024) sore, Richisandi Sibagariang menjelaskan bahwa keputusan untuk menghentikan kasus ini berdasarkan prinsip keadilan restoratif. Pendekatan ini menempatkan pemulihan hubungan antara tersangka dan korban sebagai prioritas utama, bukan sekadar penegakan hukum yang konvensional. Kehadiran Jaksa Fasilitator menjadi kunci dalam memediasi proses perdamaian, yang dilakukan tanpa adanya syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh tersangka kepada korban. Kasus ini menjadi salah satu dari enam perkara yang berhasil difasilitasi perdamaian oleh Richisandi Sibagariang hingga bulan Mei tahun 2024. Menurutnya, angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun sebelumnya, di mana hanya empat perkara yang berhasil dipulihkan melalui pendekatan restorative justice pada tahun 2023. Penerapan Restorative Justice tidak hanya melibatkan proses mediasi antara tersangka dan korban, tetapi juga mendorong pemulihan hubungan sosial dan pemulihan kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan kriminal. Pendekatan ini sejalan dengan Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, yang menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkara dapat dihentikan penuntutannya. Richisandi Sibagariang juga menjelaskan bahwa prinsip Restorative Justice sesuai dengan kebijakan Jaksa Agung dalam menjawab keresahan masyarakat tentang hukum yang tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. "Rasa keadilan sejati tidak hanya ditemukan dalam pasal-pasal hukum, melainkan juga dalam hati nurani Jaksa," tandasnya. Kasus Melisokhi Hura alias Ama Riska menjadi bukti konkret bahwa prinsip Restorative Justice mampu menjadi solusi yang efektif dalam menangani konflik interpersonal. Dengan memulihkan hubungan antara tersangka dan korban, bukan hanya keadilan yang terpenuhi, tetapi juga tercipta rekonsiliasi yang mendalam di antara mereka. Langkah-langkah ini bukan hanya menjadi bagian dari upaya penegakan hukum yang inklusif, tetapi juga langkah menuju masyarakat yang lebih harmonis dan damai.

Posting Komentar

Pasang Iklan, Gambar dan Baliho Anda Disini....

Kami Siap Membantu Anda
Pasang Iklan, Gambar dan Baliho  Anda Disini....

Hp/Wa : 0895370525838

Pasang Iklan, Gambar dan Baliho Anda Disini....

Kami Siap Membantu Anda
Pasang Iklan, Gambar dan Baliho  Anda Disini....

Hp/Wa : 0895370525838